Kalau saja bisa, bagi yang berkepentingan menilai akuntabilitas
lihat saja proses dari awal hingga akhir, cermati dari yang umum hingga
detail, amati dari yang tersurat hingga tersirat. Sebab banyak hal yang
sebenarnya lebih baik dari sekedar lembaran dokumentasi dan arsip, yang
setiap orang bisa membuatnya. Padahal belum tentu menjalankan lebih
baik dari yang kami sudah lakukan. Bahkan mungkin kami menjalankan lebih
baik dari yang telah diarsipkan.
Tapi apa mungkin ?? itu mah emang mimpi di siang bolong. Dimana –
mana menilai akuntabilitas-apalagi pada penyelenggaraan manajemen
organisasi milik publik ya harus dengan data dokumentasi , arsip dan
verifikasi…
Cerita diatas adalah sedikit keluh kesah saya yang mulai disibukkan
dengan persiapan kami menghadapi akreditasi sekolah. Maklum, sekolah
kami masih baru. Berjalan tiga tahun dengan meluluskan satu angkatan.
Sesuai ketentuan pemerintah, setiap sekolah yang didirikan harus
menjalani akreditasi sekolah untuk menilai tingkat kelayakan mutu
penyelenggaraan sekolah. Paling tidak, sekolah bisa mengeluarkan ijazah
mandiri. Tanpa label sekolah induk negeri yang ditunjuk dinas pendidikan
kota seperti sebelumnya.
Nantinya sekolah akan mendapat label A, B, atau C sesuai perolehan
nilai yang direkap oleh asesor dan ditetapkan badan akreditasi nasional.
Sekolah tingkat TK s/d SMP penilaian dilakukan oleh asesor dari
kabupaten, sedangkan tingkat SMA dilakukan asesor dari propinsi.
Sekilas tentang akreditasi….
Dulu, akreditasi sekolah hanya diperuntukkan bagi sekolah swasta.
Dengan kriteria pemeringkatan sebagai Terdaftar, Diakui dan Disamakan.
Sehingga sekolah swasta dianggap selalu under position. Jika memperoleh
hasil “Disamakan” sebagi peringkat terbaik hasil akreditasi, masih pula
dipertanyakan. Disamakan dengan siapa ? apakah disamakan dengan sekolah
negeri ? kalau begitu sebaik apapun sekolah swasta tidak akan lebih baik
dari sekolah negeri.
Padahal faktanya, sekolah terbaik di Indonesia adalah sekelompok
sekolah swasta, meskipun yang “terjelek” sekelompok sekolah swasta juga.
Begitulah kira – kira argument yang mendasari perkembangan baru dalam
penyelenggaraan akreditasi sekolah.
Nah, untuk saat ini seluruh kekurangan yang terjadi dalam sistem
akreditasi sekolah pada fase sebelumnya konon telah diperbaiki. Hal ini
terkait dengan mulai tumbuhnya kesadaran, bahwa akreditasi bukan hanya
sekadar kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu akreditasi dilakukan untuk
menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan untuk
akuntabilitas publik. Jadi semua sekolah baik negeri maupun swasta wajib
melaksanakan akreditasi 4 tahun sekali.
Pasal 1 ayat (1) PP No 19 Tahun 2005 memuat kriteria minimal komponen
pendidikan. Inilah yang menjadi rujukan sebagai Standar Nasional
Pendidikan atau SNP. SNP memuat 8 (delapan) standar mutu.
Jadi instrumen akreditasi sekolah disusun mengacu 8 standar tersebut. Meliputi (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik & Tenaga Pendidikan, (5) Standar Sarana & Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian.
Setiap standar diuraikan menjadi 165 indikator yang mewakili isi
semua delapan standar. Masing – masing indikator memiliki rentang nilai (
1 – 5). Tinggal dicentang saja. Saya sendiri kebagian bertanggungjawab
dalam menyiapkan standar yang kedelapan, yaitu Standar Penilaian yang memiliki 19 indikator. [ lihat image ]
Asesor tinggal datang dan mencentang nilai indikator- indikatornya
sesuai verifikasi yang dilakukan. Akreditasi cukup sekali datang, dan
tidak ada revisi. Setiap kekurangan menjadi bahan pelengkap akreditasi
periode selanjutnya.
Hmm.., padahal menyiapkannya butuh waktu, dan kerja ekstra disamping
delik kerja mengajar yang tidak ada libur. Tapi inilah sebuah
perjuangan demi sebuah akuntabilitas penyelenggaraan sekoah. Semoga
saja.
Selasa, 10 Oktober 2017
Akreditasi
0 Response to "Akreditasi A B C"
Posting Komentar